Langsung ke konten utama

Postingan

Halmahera Korban Nikel Kapitalis

 Oleh: Smengit Koropon Ilustrasi : halmahera dalam cengkraman kapitalis babi         Kerusakan alam yang terjadi di Halmahera hari ini sungguh sangat keterlaluan. Sebuah pulau dengan luas 17.780 km² di jarah dengan begitu brutalnya. Program pemerintah   atas nama hilirisasi dalam hal ini, telah mempercepat proses pembongkaran daratan Halmahera, secara habis-habisan, atas nama pertumbuhan ekonomi kelas penguasa ini mengorbankan alam di Halmahera demi cipratan profit kapitalis. Betapa bengisnya kelas penguasa kita hari ini.   Bahkan dalam laporan Jatam tercatat sekitar 127 ijin usaha pertambangan (IUP) seluas 655.581,43 H. dan 12 titik smelter di maluku utara. Bahkan 62 IUP di antaranya tambang nikel seluas 239.737,35 H. yang tersebar di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan. Kita menyaksikan ijin usaha pertambangan yang di lepaskan di halmahera, guna mengeruk habis sumberdaya alam tidaklah main-main. Bahkan sering kali ber...
Postingan terbaru

REFLEKSI KEMERDEKAAN

Penulis: Smengit Koropon Ilustrasi: Pejabat korup          Dalam perayaan Hut RI yang ke-80 tahun di Istana Merdeka 17 Agustus 2025. yang di warnai oleh lagu tabola bale yang menghiasi akhirnya pengibaran sangsaka merah putih, mulai dari Presiden sampai peserta upacara, sangat asoy bergoyang dengan merdunya. bahkan sampai di pelosok desa dan kelurahan juga tak luput dari suasana Kemerdekaan. di desa desa anak-anak dan pemuda di ajak berpartisipasi dalam peringantan Hut RI.    Lantas kita bertanya apakah refleksi kemerdekaan hanya sebatas menghormat bendera dan kegiatan serimonial belaka? ataukah hanya mengingat masa-masa heroik perjuangan di masa lalu mengusir penjaja? sering kali kita di ajak berpartisipasi dalam kegiatan Kemerdekaan tampa di beri tau akan makna arti Kemerdekaan yang sesunguhnya. hari ini, memang kita suda Merdeka dari kolonial Belanda semerdeka-merdekanya, namun penjajahan yang kita masuki telah berubah 180 derajat, penjajahan oleh ...

80 Tahun: garuda, Naga dan Lain-lain

Penulis : M Said Marsaoly  Ilustrasi: Garuda mencengkeram Naga Cinta Garuda sesungguhnya adalah cinta manusia kepada bumi, cinta yang menghidupkan. Tapi naga tak pernah benar-benar lenyap. Ia hanya berganti rupa. Kita menyebutnya oligarki. Indonesia merdeka delapan puluh tahun. Saya teringat cerita Garuda—burung perkasa yang turun melawan naga—setelah menonton The Guardian of Nusantara karya Alffy Rev, Once Mekel, Sudjiwo Tejo, dan Novia Bachmid. Video itu, yang tayang setahun lalu di kanal Youtube itu, masih terasa relevan di usia bangsa ini yang kian renta. Sebab mitos, seperti sejarah, tak pernah selesai. Ia selalu kembali, menagih makna baru di zaman yang berbeda. Dalam kisahnya, Garuda tak hanya lambang kekuatan. Ia melawan naga demi menyelamatkan ibunya dari perbudakan. Dari sana kita tahu, asal-usul Garuda bukanlah mengenai tahta, tapi cinta—cinta anak pada ibunya, cinta yang menolak diperbudak. Ibunya adalah bumi, rahim kehidupan. Dari tanah yang lembap tumbuh tanaman, dari...

Membaca Ulang The Empty Seashell sebagai Semiotika Ekstraktivisme di Teluk Buli

Penulis : M Said Marsaoly   Judul: The Empty Seashell: Witchcraft and Doubt on an Indonesian Island Penulis: Nils Bubandt Penerbit: Cornell University Press, 2014 Tebal: ± 320 halaman ISBN: 978-0-8014-7945-8 (paperback) Saya mengenal Nils Bubandt saat masih duduk di bangku SMP. Orang Buli, karib menyapanya dengan “Mister”. Setiap kali berpapasan di jalan, sapaan yang terdengar selalu sama: “ Mister fan manca ?”—Tuan mau ke mana? Tapi yang membuat kami kagum, terutama bagi orang Buli Asal, adalah kefasihannya berbahasa Buli. Bahkan di kalangan anak muda sekarang, tidak semua mampu berbicara sefasih Nils Bubandt. Kefasihan itu tak hanya kemampuan bahasa, melainkan cermin dari kedalaman pergaulannya dengan orang Buli, yang kelak terwujud dalam karya etnografinya  The Empty Seashell: Witchcraft and Doubt on an Indonesian Island. *** Nils Bubandt, antropolog asal Denmark, menghabiskan lebih dari dua dekade meneliti kampung pesisir Buli di Halmahera Timur. Karyanya  The Emp...

Perempuan: Rahim Semesta

Oleh : R. Marsaoly Ilustrasi esai. oleh; Canva Ai Pulang pada rahim, kita bisa lahir kembali: sebagai manusia yang lebih adil, lebih bijak, dan lebih siap merawat semesta. Kita semua datang dari rahim. Sebuah ruang hening, hangat, dan gelap, tempat di mana denyut pertama kehidupan berdetak. Rahim adalah awal mula semua hal yang kita kenal sebagai dunia: tubuh, jiwa, cinta, bahkan kekacauan. Dan di rahim perempuanlah, semesta mengenal makna “ada”. Perempuan tidak hanya mengandung kehidupan, tapi mengandung keberlanjutan. Bukan sekadar perantara biologis dari satu generasi ke generasi lainnya. Perempuan, penjaga semesta kecil di dalam tubuhnya yang melahirkan dunia. Maka, menyebut perempuan sebagai rahim semesta bukanlah metafora semata, tapi pengakuan pada kenyataan paling purba dan paling fundamental dari kehidupan manusia. Di dalam rahim perempuan, semesta bersembunyi sebelum ia lahir ke dunia. Di tubuhnya, sejarah tumbuh dan takdir dipahat. Dalam kebudayaan Timur, perempuan bahkan di...

Pasti Hilang

Oleh : NJ Manefo Ilustrasi Pemerintah ikut campur daerah tambah parah hidup macam takur tapi takut dipenjara Rakyat yang sengsara mandi-mandi darah pejabat bisa apa duduk kong haga? Jangan cuma jaga Tahta deng harta kalau so baku bage rata wanita simpanan juga dapa Tarif makin  nae pake dinas dorang sadis dorang bilang bae tapi di mana dia pe hasil? Tambang yang di sanakah? tambang yang di sinikah? kapala tanda tangan Sambunyi deng kofia Tapi tanah dorang kuras abis Ambe nikel deng emas jaringan tetap edge rakyat jadi cemas Basuara dorang pele malawang dorang gepe pica deng tarika sampe seke Nanti kalau tanah so kosong dorang kase tinggal macam Gebe Maba 2025

Romonli

  Oleh : M Said Marsaoly Foto :  Dokumentasi Air Romonli oleh warga tgl 04 juni 2025 Pagi itu, tanggal 2 Juni 2025, bukan suara manusia yang membangunkan kampung, tapi air. Bukan jeritan, bukan sirene. Hanya suara gemericik biasa—yang sudah akrab di bak mandi, di pipa-pipa dapur, di selang-selang plastik tua. Tapi pagi itu, air datang membawa warna. Bukan bening, tapi cokelat pekat. Bukan sejuk, tapi lengket. Air yang selama ini jadi pelipur lelah tiba-tiba berubah jadi pengingat paling getir: ada sesuatu yang rusak di hulu sana. Warga dua desa—Soasangaji dan Soalaipoh—hanya bisa diam. Lantai kamar mandi tergenang lumpur, bak air berubah seperti kubangan kecil. Tapi bukan lumpur itu yang paling menyesakkan, melainkan kesunyian yang mengikutinya: air yang selama ini mereka percaya, tiba-tiba kehilangan jiwanya. Dan seperti biasa, yang paling cepat bereaksi bukan pemerintah, melainkan langkah kaki warga sendiri. Mereka berjalan delapan jam ke hulu. Mencari sumber keruh yang tak ...