Kejenuhan Pengetahuan

Sebuah Refleksi

Penulis: Ahlan Maneke

Ilustrasi gambar
sumber: google, Emotional Connection


“Kehidupan yang begitu-begitu saja, berjalan datar, kering, hampa, sampai pada kejenuhan (bosan). Duduk bersama berbagi pengetahuan bukan  lagi hal yang istimewa. Tidak lagi si-istimewa ketika  anda berada di dunia kampus untuk berdikusi berbagai pengetahuan. Apalagi dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi saat ini. Orang-orang lebih percaya diri untuk mengetahui segala hal lewat media online atau google. Lebih hebatnya AI/Meta, mampu menjawab semua pertanyaan yang ingin kita ketahui. Orang merasa malas untuk berinteraksi secara langsung. AI/Meta seperti mengambil alih ruang diskusi antar-sesama. Kebanyakan orang  merasa, sudah pada posisi 'zona nyaman' mereka masing-masing. Tidak perlu ada ini dan itu lagi.”

Suatu waktu saya dan beberapa teman bercerita santai. Merefleksi kembali tentang kampung. Banyak cerita yang muncul begitu saja. Mengalir. Jika cerita-cerita ini tidak ditulis, bisa jadi habis di situ saja. Seperti angin lalu. Perefleksian yang Panjang. Masing-masing mengeluarkan apa yang mereka rasakan di kampung saat ini. Dengan segala perubahan dan dinamikanya.

Bahwa dengan kesibukan masing-masing kita tidak lagi duduk bersama untuk bercerita tentang pengetahuan. Maka dari kejenuhan ini kita berbagi dan bercerita. Pengetahuan apa saja. Yang penting kami masih bisa berkumpul bersama.

Dulu saya dan beberapa teman giat belajar tentang riset. Yang di dalam berisi tentang sosial, budaya, ekonomi, politik dan berbagai pengetahuan. Kami dikumpulkan dalam satu lembaga riset yang ada di Bogor (Malabar:22). Lebih dikenal dengan SAINS (Sajogyo Intitute). Kami sangat bersyukur bisa bergabung di Lembaga ini.  Belajar dan mengajarkan banyak hal tentang: cara menulis, membaca, beradaptasi dengan lingkungan baru, bahkan kami difasilitasi untuk turun langsung melakukan riset. Di kampung-kampung yang sebelumnya kami belum pernah sampai.

Seingat saya, awal mengenali apa itu riset. Berawal dari beberapa teman-teman yang kuliah di Jogja dan beberapa teman-teman yang datang dari Maluku. Yang saat itu nama rombongan belajar mereka adalah Kora Maluku dan Salawaku Institute. Padahal saya sendiri adalah mahasiswa yang berkuliah di Bogor. Tapi anehnya saya tidak mengetahui adanya Lembaga riset ini, yang lokasinya berada tidak jauh dari tempat tinggal saya.

Dari 2010 sampai awal 2014 memang saya tidak serius untuk kuliah, belajar yang sungguh-sungguh, apalagi. Bagi saya yang penting sudah berada di kota dan sudah tahu apa itu dunia kampus. Mau dapat nilai bagus atau mau lulusnya kapan itu urusan belakang. Dunia penuh dengan kegelapan saya jalani hampir empat tahun lamanya di kota hujan. Mulai dari mabuk-mabukan, dunia malam, pergaulan bebas dan ekstrimnya saya selalu ikut terlibat dalam perkelahian yang tidak ada gunanya sama sekali.

Di awal kuliah, saya dikenali dengan organisasi eksternal yang Namanya PMII (Pergerakan  Mahasiswa Islam Indonesia), oleh para senior. Pengetahuan yang saya dapati dalam organisasi itu tentang kepemimpinan. Bagaimana berbicara didepan umum bahkan sampai orasi di depan Istana Bogor dan dibawah Tugu Kujang. Bagi saya ini hanya pembelajaran mental akademis yang berlaku di seluruh mahasiswa/mahasiswi.

Banyak hal yang saya dapat dari organisasi ini. Punya banyak teman. Mampu merangkum beberapa teman untuk bergabung di organisasi. Bagaimana mencari uang dari penyusunan proposal, di terminal, lampu merah, ngamen, bazar dan sebagainya. Hanya untuk membuat  kegiatan bakti sosial dan menjadi penyambung suara kaum tertindas. Kegiatan semacam ini, berlaku umum dikalangkan organisasi kampus maupun organisasi kedaerahan yang ada di kota.

Membangun jaringan dari beberapa organisasi  yang terkenal di Indonesia seperti,  PMII, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) serta beberapa organisasi kedaerahan lainnya. Hanya untuk berbagi pengetahuan saja. Dengan latar belakang saya dengan kemampuan terbatas (ekonomi). Saya menekuni betul, membangun perkawanan dalam organisasi hanya untuk bisa mengambil pengalaman, bisa juga dibilang agar perut bisa terisi di perantauan.

Saya mulai aktif membaca buku, membaca saja tanpa mengerti apa yang dimaksud dalam buku tersebut. Di kepala saya yang penting saya terlihat memegang buku. Ketika ada pengiriman uang dari kampung saya mulai senang menjelajahi Gramedia yang ada di Mall Botani. Dengan seriusnya saya mulai membuka buku yang disusun di rak buku dengan berbagai tema yang terpajang. Ada satu kesenangan berada di ruangan gramedia yaitu kita bisa melihat buku apa saja yang ingin kita baca. Belum lagi bisa melihat para mahasiswi yang mencari referensi untuk membuat makalah atau skripsi. Atau para  kutu buku lainnya.

Buku-buku yang saya beli dengan bangganya saya susun di kamar kosan ataupun di asrama. Dengan maksud ketika ada teman berkunjung. Saya bisa memamerkan kalau saya adalah aktifis tulen. Yang kesehariannya adalah membaca. Dikepala saya, dengan membaca buku-buku ini. Saya mampuh berdebat dengan siapa saja ketika ada diskusi ataupun seminar (bedah buku). Aktifitas seperti ini berjalan agak lama. Sampai pada suatu perenungan, untuk apa saya menampung buku sebanyak  ini. Toh saya juga tidak selalu membaca. Buku-buku ini hanya menjadi pajangan saja.

 Dengan segala dinamika serta keseharian hidup kehidupan yang ada di kota. Yang acak dan tidak ter-arah. Dengan berbagai persoalan yang itu-itu saja. Saya tidak sengaja tiba di Sajogyo Institute, Malabar: 22. Saya melihat aktifitas dan ruang disini agak berbeda dengan rumah pada umumnya. Bedanya mereka selalu bergelut dengan buku dan dikusi, lalu menulis. Dan ini berjalan terus-menerus. Mahasiswa, dosen bahkan rektor yang bergabung dalam Lembaga belajar ini.

Waktu berjalan, dan perlahan saya tahu, lembaga belajar ini fokusnya pada riset agraria. Mungkin lebih tepatnya tentang kelumitan tanah yang ada di Indonesia. Berbagai pengetahun baru yang saya dapati. Di organisasi dan kehidupan diskusi di dunia kampus, sering saya mendengar para senior berdikusi tentang orang-orang hebat. Seperti Bung Karno, Hatta, Tan Malaka, Gandi, Marx, Lennin, Hegel, Ibnu Khaldun dan pemikir lainnya. Ini saya komsumsi seadanya saja. Bahkan bisa dibilang saya pendengar terbaik. Namun pada kenyataannya, saya tidak mengerti juga dari kejelasan mereka. Belum lagi cabang ilmu filsafat yang begitu memutar otak.

Sayapun penasaran dan mulai bergabung dengan wadah belajar Sajogyo Institute (SAINS). Sebagai pemula kami hanya mengikuti ritme yang ada. Hanya menjadi pendengar terbaik. Ada Pelajaran yang unik. Kami diajari oleh seorang guru kami, bang Surya Saluang (biasa disapa bang Sal) hanya bagaimana melatih tubuh untuk sensitif dengan hal-hal kecil disekitar SAINS ini. Misalnya bangun pagi menyapu halaman, mengepel ruangan, mencuci piring, kamar mandi, dan membuat kopi untuk para tamu yang datang. Dan itu berulang-ulang kali.

Saya sempat berpikir. Lah, kalau hanya ini yang kami dapat dari pembelajaran ini kenapa tidak saya lakukan di Asrama Haltim saja. Toh ini juga sudah menjadi keseharian hidup dari dulu. Ternyata kebiasaan yang sesederhana ini manfaatnya untuk melatih tubuh untuk bergerak aktif dalam berbagai hal. Karena di dalam pola belajar riset diperlukan tubuh yang tidak hanya aktif, tapi juga sensitif. Di mulai dari hal-hal kecil yang dalam pandangan kebanyakan orang adalah hal yang remeh-temeh.

Mulai kami digodok untuk terus belajar, membaca dan menulis. Menulis apa  saja, apa adanya, apa yang dipikirkan, yang dilihat, dirasakan, itulah yang anda tulis. Jangan terkerangkeng dengan istilah-istilah akademik atau baku. Menulis dengan sebebas-bebasnya. Menulis adalah pekerjaan yang paling sulit sekaligus paling gampang ketika tubuh memberanikan diri untuk memulai menulis.

Dengan berbagai orang, berbagai pengetahuan dan banyak karakter yang tiba di Malabar: 22. Yang semuanya itu mempunyai latar belakang pendidikan yang bisa dibilang berkelas. Bagaimana tidak. Kami duduk bersama dengan Pak Gunawan Wiradi, Surya Saluang, Nur Fauzi Rahman, Risman Buamona, Didi Nofrian, Hendro Sangkoyo, Mitrardi Sangkoyo, Mba Ika, Mba Taza, Bang Sanca, Mba Dian, Afrizal Malna, Om Hanafi, Haidar Bagir, Lembaga Lipi, Jatam, Aman, Kora Maluku, Salawaku Institute, dan masih banyak lagi yang bidang keilmuannya bisa dikatakan sangat matang.

Kami harus bangga dan bersukur bisa bergabung di Sajogyo Institute. Tidak semua orang punya kesempatan atau peluang untuk duduk bersama serta belajar dengan orang-orang hebat di atas. Dengan ajaran kerendahan hati dan jujur dalam menulis dan bukan bersifat melata. Membaca buku harus mengerti betul, jangan sok tahu (menggurui). Tidak tahu. Ya, bertanya.

Dengan berbagai metodologi, cara, tips-tips dalam menulis atau melakukan riset kami diajari terus-menerus tanpa bosan. Tergantung kami, saya atau anda mampuh melakukannya atau tidak. Karena pekerjaan atau pembelajaran ini tidak mudah juga tidak gampang.

Suatu waktu kami turun riset di sekitar area Malabar: 22 dengan menggunakan metodologi kualtitatif (etnografi). Kelima panca Indera digunakan. Anda hanya bertanya dan mendengar, bukan menggurui. Menulislah dengan mentah (atau murni), dari objek atau responden atau dari informan anda. Jangan menambakan atau mengurangi. Jangan anda membayangkan atau  membangun opini (mengira-ngira) sendiri. Terserah mau riset apa saja. Pedagang kaki lima: penjual makanan, penjual koran bahkan sampai tukang parkir. Dengan gaya penulisan masing-masing. Entah itu bermanfaat atau tidak, memberi informasi atau tidak. Menulis sajalah dulu. Toh kalau tulisannya tidak berbobot atau tidak bagus. Anda tidak merugikan siapa-siapa kan?

Setelah kami kembali ke tempat belajar. Masing-masing menyalin ulang dari buku catatan ke dalam laptop. Untuk presentasi ke bang Surya Saluang. Ini pengalaman yang bisa dibilang menegangkan dan paling seru. Bagaimana tidak, tidak ada dalam pikiran saya sebelumnya. Kalau pada akhirnya saya akan menulis dengan cara turun langsung menanyakan pengalaman keseharian orang.

Satu-satu mulai bercerita tentang apa dan bagaimana cara untuk mendapat infomasi dari si pemberi informasi. Kesimpulan dari bang Surya Saluang seingat saya, “kalian harus lebih peka dan teliti. Lebih giat lagi dalam menulis, asah terus-menerus, perbanyak baca referensi apa saja tentang menulis yang baik dan benar, bagaimana penempatan kosa kata, koma dan titiknya”. Pokoknya masih banyak lagi yang dijelaskan tapi saya tidak ingat semuanya.

Dengan proses belajar di dalam kelas, duduk berjam-jam. Datang pemateri satu per satu dengan pengalaman riset mereka. Berbagai pengalaman yang begitu kaya dan menantang. Memberi semangat, motivasi, saran, dan masukan kepada kami. Mengajarkan cara membangun kerangka berfikir atau metodologi riset yang tidak kaku dan sebagainya.

Tibalah kami, dimana kami harus memilih tempat (kampung) mana untuk melakukan riset. Serta turun langsung (melebur) dengan keseharian mereka nanti. Langkah awal, mencari di google tentang latar belakang kampung, jaraknya, rutenya, naik transpotasi apa serta kebiasaan (adatnya). Ketika saya membuka google earth saya agak tertarik dengan beberapa gambar tambak ikan yang berada di samping Perusahaan Pertamina. Ternyata pertamina ini berdiri kokoh di kecamatan Balongan, Indramayu, lebih tepatnya berbatasan langsung dengan blok Kesambi.

Setelah hampir satu bulan lamanya saya belajar di blok Kesambi. Kami juga turun belajar kampung di daerah Lebak Banten. Lebih tepatnya di kecamatan Bayah, desa Ciananggah dan Pariwitasa yang ada di Sawarna.

Sampai pada 2016 akhir saya kembali kampung halaman selama hampir enam tahun lamanya bergelut dengan Kota Hujan. Ketika sampai  di kota Ternate dengan melihat teritorialnya. Mungkin karena saya agak lama di 'tanah datar'. Yang  jarak pantainya ratusan kilometer dari kota Bogor. Saya melihat Ternate saat itu kecil sekali. Saya seperti turun di sebuah kecamatan yang ada di Jawa, bukan ibu kotanya propinsi Maluku Utara.

Pulang kampung, saya pulang di Mabapura, tanah kelahiran. Tanah yang dengan segala kehidupannya menyenangkan. Saat itu yang saya rasakan. Saya bertemu dengan beberapa kawan saya yang 'seperguruan' di Bogor. Kami melepas rindu dan bercerita pengalaman masing-masing. Seperti itu terus-menerus. Sampai di mana, saya sempat bekerja di  sekolah dasar Inpres Mabapura sebagai tenaga pembantu. Dan itu berjalan tidak lama mungkin satu bulan lebih. Karena saya harus bangun pagi-pagi sekali dan terlebih dahulu membuka pintu pagar sekolah dan lainnya.

Pekerjaan seperti ini tidak cocok bagi  saya. Sementara waktu itu, masih kuat begadang, nongkrong tidak jelas. Sementara saya dituntut dengan pekerjaan yang serba disiplin. Harus bagun pagi sekali. Saya memutuskan untuk berhenti. Di akhir 2017 saya mendapat pesan whatssap dari bang Surya Saluang. Menawarkan saya mencari teman untuk turun riset di Moti. Saya mengajak kawan saya Rahmat Marsaoly. Setelah hampir sebulan lamanya kami riset. Mulai dari Moti Kota, Tadenas, Tafaga, Supongo, Dubang, Takofi dan Tafamutu.

Dari hasil riset  ini kami berangkat ke Bogor untuk presentasi. Di sana bukannya saya presentasi hasil riset kami.  Namun malah saya marah. Dengan melihat kondisi kampung Moti dan kampung kami Mabapura. Yang menurut saya, apa fungsinya data riset ini kalau hanya dijadikan sebuah data. Maunya saya, kami sudah harus mengambil satu langkah maju. Sudah harus memberi solusi. Misalnya kalau di kampung yang kami riset, mata pencahariannya pertanian. Kita sudah harus sebagai contoh menjadi seorang petani. Sudah harus mempunyai modal untuk membeli lahan, menggarapnya, menanam sampai ke pasarnya. Dan ini harus dibiayai oleh lembaga riset tersebut.

Saya menghormati betul dengan proses belajar ini, kami sedikit tahu dinamika perubahan sosial, budaya, politik, ekonomi atau apalah namanya. Karena dengan melihat kondisi Mabapura saat itu orang lagi susah-susahnya untuk mengasapi dapur mereka. Perusaahaan saat itu banyak yang putus kontrak di tengah jalan dengan adanya Minerba besar-besaran.

Masuk pada keseharian hidup kami pemuda Mabapura. Yang saat itu kami mau berbuat apa untuk kampung. Kami sempat menyoroti masalah sampah yang tidak ada tempat pembuangan akhirnya. Sehingga sampah rumahan selalu berahir di pesisir pantai. Dengan sadar dan penuh semangat kami turun langsung untuk membersihkan sampah. Tanda pelarangan membuang sampahpun kami buat dan pasang di sepanjang pesisir pantai.

Kami mengira, segampang kami membuat larangan ini, orang tidak lagi membuang sampah di pesisir pantai. Padahal sama saja. Penyebabnya, lagi-lagi tidak ada mobil pengangkut sampah dan mau dibuang kemana. Ini adalah masalah besar yang harus kami pecahkan bersama pada waktu itu. Pada akhirnya 'kami kalah' dengan segala keterbatasan untuk menangani masalah sampah.

Berjalannya waktu kami membuat satu wadah belajar yang kurang lebih fokus pada hal-hal seni kebudayaan yang bernama Sanggar Gisbayo. Lagi-lagi dengan kebingungan dan kejenuhan hidup kami saat itu. Dengan sedikit modal kami mengontrak salah satu rumah, untuk dijadikan base camp (wadah belajar). Sempat beberapa  kali kami mengumpulkan muda-mudi untuk memberitahukan apa maksud dengan adanya wadah belajar ini. Lama-kelamaan dengan adanya wadah ini, menjadi tempat bermain kartu. Dan itu hal biasa, karena tidak segampang membalikkan tangan untuk menyamakan pikiran untuk tujuan literasi ini. Kami juga sempat ingin membangun sebuah usaha kedai, untuk membuka usaha kecil-kecilan. Namun gagal lagi.

Mungkin ini hanya perenungan saya saja. Bisa benar atau salah. Salah satu penyebab sanggar ini tidak berjalan karena dari beberapa di antara kami, sebagai pengurus Sanggar mulai masuk kerja di perusahan pabrik. Dan penempatan lokasi kerjanya jauh yaitu di Pomalaa, Sulawesi Tanggara. Hampir empat tahun lamanya kami bergelut dengan dunia serba mesin.

Di bulan Juni 2023, kami kembali ke kampung halaman, Mabapura. Dengan mulai beroperasinya pabrik. Alasan paling kuat kami dikembalikan karena ada desakan dari  Pemerintah Daerah. Entahlah. Kami hidup dengan pola kerja pabrik, begitu setiap hari. Hampir satu tahun lamanya kami bergelut dengan pekerjaan pabrik. Wacana menjadi tenaga buruh pabrik terbangun dan berputar aktif di dalam kampung. Yaitu bagaimana agar orang Mabapura bisa masuk bekerja di perusahaan.

Saya sendiri membaca situasi itu, dan dengan mantap niat membangun usaha kopi dan kue. Yang berjalan sampai sekarang. Saya mengira saya sudah selesai sampai di sini, dengan segala persoalan yang sebelum-sebelumnya. Dengan kesimpulan, saya sudah menikah, sudah mempunyai anak. Maka saya harus fokus bekerja dan fokus pada usaha saya. Ternyata tidak semudah itu. Kerisauan-kerisauan dengan melihat keseharian hidup yang serba monoton, belum lagi pemuda-pemudi yang sebagian besar sudah bekerja. Ini menjadi jarak bagi kami untuk berbagi pengetahuan. Khususnya kampung Mabapura.

Saya dan beberapa kawan mulai membangun Kembali diskusi atau sekedar bercerita tentang kondisi kampung saat ini. Dan ini hampir terus menerus-menerus. Saling memberi semangat satu dengan yang lain. Di kepala kami, harus ada satu literasi atau wadah belajar yang bisa mengumpulkan kami dan bisa menuangkan isi pikiran kami.

Maka muncullah, satu wadah belajar dengan nama Tinta Kampung. Yang isinya berbagi pengetahuan kampung, apa saja. Selama itu hal-hal yang positif. Dengan adanya Tinta Kampung ini, setidaknya sebagai wadah untuk merefleksikan kampung. Penekanannya, kita harus bisa menulis dan bisa melakukan riset kecil-kecilan. Untuk melatih mental sekaligus menyuplai otak kita dengan pengetahuan bergizi. Agar tubuh selalu segar dan awet muda. Serta selalu waras dalam menghadapi datangnya perusahaan raksasa dan ribuan orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda.

D’Thaz Coffee, 27 Januari 2025

Diberdayakan oleh Blogger.