Putusnya Mata-rantai Pengetahuan Kampung
Penggalan tulisan di atas adalah tanya jawab antara saya dan bapak saya. Jawaban bapak saya adalah bentuk sindiran sekaligus mengandung kenyataan hari ini. Terutama kami generasi sekarang. Saya membatin, jangankan menebang pohon sagu, untuk tahu berapa usia pohon sagu yang bisa diproduksi saja kami tidak tahu. Saya, barangkali juga teman-teman yang lain, mengalami hal sama. Sama-sama tidak tahu tentang hal itu. Bahwa pengetahuan macam itu tidak tinggal dalam kepala kami.
Saya tidak hendak menulis atau mengurai tentang cara-cara memproduksi pohon sagu. Tapi tentang pohon sagu di atas adalah sebuah sampel tentang pengetahuan kampung. Lebih dari itu, bagi saya, pohon sagu bukan saja sebuah pohon, tapi juga sebuah 'pohon pengetahuan' yang memuat nilai-nilai filosofis kampung yang selama ini dibiarkan begitu saja, tanpa dipelajari apalagi diseriusi.
Apa sebab sehingga pengetahuan kampung putus rerantainya dalam kepala generasi hari ini. Saya teringat sebuah pidato luar biasa oleh seorang filsuf sekaligus astronomer perempuan Indonesia, Prof.Dra. Karlina Supelli. Dalam pidatonya yang berjudul Kebudayaan dan Kegagapan Kita. Ia berpidato “...Bagi banyak masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata pencaharian. Hutan terutama adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku...”
Penggalan pidato Karlina Supelli memberikan kita satu oase pengetahuan yang menyegarkan, tentang hutan dan seisinya. Pohon sagu misalnya, bukan hanya satu pohon yang diperlukan untuk sekedar sebagai makanan pokok orang kampung (Kepulauan Maluku-Papua), demikian juga dengan segala jenis tanaman serta air, tanah dan segalanya adalah sumber pengetahuan orang kampung. Dari sanalah segala dimensi pengetahuan orang kampung bermula. Tentang sejarah kehidupan mereka, asal-muasal, tata hukum dan praktik hidup keseharian orang kampung.
Hari ini, kita sama tahu, segala dimensi pengetahuan kampung perlahan mulai terputus. Jika pengetahuan kampung itu terputus, sudah pasti tata hukum kehidupan, etika dan ajaran moral hidup yang telah lekat erat dengan kita juga terputus. Sebab, sumber-sumber material pengetahuan telah dibabat, dikeruk, digusur, dihilangkan. Pengetahuan tidak bisa lepas dari sumber materialnya. Misalnya pengetahuan tentang cara menanam pohon sagu. Jika tanahnya telah dijual atau telah dikuasai oleh orang lain, bagaimana kita akan tahu seperti apa cara menanam pohon sagu, jika tanah sebagai alas dasar untuk menanam telah dikuasai orang lain dan bukan milik kita. Begitu juga dengan air.
Pohon sagu selain bahan makanan pokok, juga memiliki kegunaan dan mafaat yang begitu besar bagi manusia dan ekologi. Mulai dari akar sagu, pelepah, hingga daun. Pada akar sagu, dapat memberikan manfaat kesehatan bagi beberapa penyakit seperti ambeien, diare, dan beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri, termasuk lemah syahwat. Dalam kebudayaan orang Halmahera (Maba, Patani dan Weda) Sagu memiliki peran penting, pelepah sagu menjadi bahan dasar untuk membuat Cokaiba dalam tradisi orang Maba yang diselenggarakan setiap hari besar Kelahiran Nabi Muhammad Saw (Maulid Nabi).
Pohon sagu bukan hanya sebuah pohon yang diproduksi menjadi makanan. Tapi juga punya nilai filosofis yang kuat. Seorang tua di Mabapura menuturkan, kulit batang sagu melambangkan sifat atau karakter manusia, isinya melambangkan hati manusia, dan sagu yang sudah diolah/dimasak melambangkan nilai hidup atau praktek hidup manusia. Pemaknaan semacam ini hadir dari perenungan terhadap hubungan antara alam dan manusia, antara manusia dan Tuhan. Inilah yang disebut pengetahuan kampung. Pengetahuan kampung yang dimaksud tidak melulu hanya tentang hal-hal teknis (cara berkebun, berburu, berladang, dll). Tapi tentang nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, yang dari situlah, sekali lagi, terlahir hukum adat dan budaya atau tata nilai hidup dalam satu ruang hidup bersama di kampung.
Saya membayangkan, jika pohon sagu telah dibabat habis oleh orang-orang yang tidak memahami hal itu, maka sudah pasti pengetahuan kampung yang terkait dengannya juga ikut terbabat. Hilang. Kehilangan sumber-sumber pengetahuan kampung, oleh sebagian orang menganggap biasa-biasa saja. Karena kehidupan tetap berjalan seperti biasa saja. Cara pandang semacam ini adalah hasil dari produk pengetahuan imporan, atau pengetahuan asing yang datang dari luar tubuh kampung.
Di laut, misalnya, orang kampung memandang laut bukan hanya sebagai tempat untuk memancing/menangkap ikan saja. Laut dalam pandangan orang kampung adalah ruang hidup bersama yang mengajarkan tentang keluasan dan kedalaman hati manusia. Lautan dan segala isi di dalamnya memiliki aturan main tersendiri. Jenis-jenis ikan di laut juga memiliki hubungan hidup dengan manusia. Ada istilah boboso atau pantangan orang kampung di beberapa jenis ikan. Ikan goropa, atau ikan Tuna, oleh orang kampung sebagian tidak bisa dimakan atau ditangkap. Karena dipercaya memiliki hubungan hidup dengan mereka. Jika dimakan atau ditangkap, maka orang tersebut mengalami gangguan kesehatan, bahkan jiwa. Hal ini bukan perkara mitos atau kepercayaan animisme. Ini tentang kosmologi orang kampung.
Tanjung dan teluk memiliki pemaknaan yang sangat erat kaitannya dengan manusia. Penamaan-penamaan tanjung dan teluk jika ditelusuri masing-masing memiliki sejarahnya dengan kehidupan orang kampung yang berada di wilayah itu. Misalnya, teluk Epa (Mabapura). Di teluk ini, sebelum bercokolnya berbagai perusahan ekstraktif (pertambangan) merupakan ruang hidup bersama orang Buli dan Maba. Tempat mereka berkebun, mencari ikan laut dan tinggal di teluk ini. Di samping tempat mencari makan, juga menjadi ruang perjumpaan orang Buli dan Maba. Teluk Epa menjadi simpul pengikat, silaturahmi antar kampung. Bebagi bersama, sehidup sepenanggungan.
Ketika berbagai perusahaan ini masuk menambang di teluk Epa, perubahan bentang alam (sumber material pengetahuan kampung) menjadi faktor utama hilangnya ruang hidup bersama itu. Semua itu bermula dari proses pengkaplingan lahan-lahan kebun oleh orang kampung sendiri (Baca: Perampasan Ruang Hidup, Cerita Orang Halmahera).
Keterputusan mata rantai pengetahuan kampung tidak hanya disebabkan oleh perusahan tambang yang mengeruk habis sumber material pengetahuan kampung. Tapi dimulai sejak di dalam dunia pendidikan (Baca: Politik Pendidikan-Paulo Freire). Sejak SD sampai perguruan tinggi. Dunia pendidikan seperti mata pisau, bisa membawa orang pada kecerdasan berpengetahuan juga bisa membuat orang buta akan pengetahuan. Semangat pengetahuan modern membentuk manusia menjadi terkotak-kotak. Semangat pengetahuan yang diciptakan pendidikan modern adalah semangat menjadi manusia praktis yang minus kualitas. Sehingga semangat pendidikan hari ini, bukan untuk belajar mengenal segala dimensi pengetahuan yang begitu luas.
Bukan berarti saya anti terhadap pendidikan modern, hanya saja dalam hemat saya, pendidikan modern hari ini tidak ramah terhadap pengetahuan tradisional, atau pengetahuan kampung. Semangat pendidikan modern terkesan perlahan menghapus asas pendidikan kampung. Itu saja!
Mabapura 29-01-2025
Post a Comment