Apa Pentingnya Menulis?


Penulis: Rahmat Marsaoly

Ilustrasi Apa Pentingnya Menulis





Refleksi ini ditulis di sebuah pagi, saat jalanan Malabar basah oleh rintik hujan, pada Januari 2016 di Kota Bogor.

Bersama beberapa teman sekampung, kami mengikuti sebuah kelas menulis, dengan seorang penulis perempuan, Muntaza. Taza, begitu ia disapa. Di dalam ruangan itu, Taza memulai kelas menulisnya dengan sebuah pertanyaan: apakah menulis itu dan mengapa harus menulis? Awalnya, kami disuruh menjawab pertanyaan itu dengan menggambar dan kemudian menulis. Entah kami akan menjawabnya dengan menggambar apa, atau menulis dengan sepuas-puasnya, terserah, yang terpenting  gambaran maupun tulisan kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Tulisan ini adalah jawaban saya atas pertanyaan tersebut.

 

Saya mulai penasaran terhadap menulis. Pertanyaan mengenai menulis muncul kait-berkait tiada henti hingga saat ini. Memang, menulis itu sendiri baru saja saya lakoni, baru memulainya. Saya baru belajar menulis bukan sewaktu di perguruan tinggi atau kampus itu, tapi justru ketika saya mulai meninggalkan kampus, ketika saya memilih untuk melepaskan diri belajar di luar ruang atau sistem kampus. Sebab, sewaktu masih aktif di kampus, yang saya dapati kampus tidak pernah mengajarkan saya menulis dengan sungguh-sungguh, tidak pernah memberi pemahaman bahwa menulis juga merupakan suatu pekerjaan paling penting dalam proses belajar. Dalam hidup. Dan memang, pengalaman saya mendapati banyak penulis di—khususnya—Indonesia, mereka mengembangkan karir menulis justru bukan dalam lingkungan pendidikan formal.

 

Sewaktu di Sekolah Dasar misalnya, kita memang telah diajarkan menulis, diantaranya menulis cerita pendek, sajak, menulis puisi dll. Tapi, pada masa SD menulis dipahami sebatas uraian kata-kata yang menjadi kalimat, dan kemudian menjadi satu cerita singkat. Lalu kemudian hasil tulisan kita baca di depan kelas atau dinilai guru dengan angka-angka. Saya tak pernah melihat dan memahami menulis sebagai proses pertumbuhan diri (subjek). Bahwa ‘kata’ yang menjadi ‘kalimat’ (tulisan) itu juga memiliki realitas yang hidup, suatu daya hidup yang kuat, yang dapat  mencerahkan hidup atau sebaliknya. Karena pada dasarnya, tulisan (memang-harus) berasal dari lingkungan sekitar, dari dunia kita.

 

Singkatnya, selama dalam dunia sekolah formal, tak pernah saya memahami dan merasa penasaran terhadap menulis begitu kuatnya, seperti sekarang ini.

 

Itulah sebabnya, menulis dianggap merupakan tugas orang-orang bersekolah tinggi, yang telah meraih gelar kesarjanaan, atau mereka yang telah mendapat sebutan profesor. Bentuk kesadaran semacam ini, bertahun-tahun lamanya terpatri kuat dalam diri. Dimuali dari ketika masuk dalam dunia pendidikan SD, (ketika mulai tahu membaca dan menulis), SMP, SMA, hingga berkuliah pun masih tetap sama. Masih menganggap menulis adalah tugas orang-orang yang disebutkan itu (sarjana, profesor, dll). Kesadaran semacam itu justru membuat saya makin yakin bahwa orang seperti saya tak akan pernah bisa menuliskan suatu tulisan seperti dalam berbagai buku yang saya baca, artikel dan macam-macam tulisan lainnya, apalagi menulis hingga menghasilkan sebuah buku. Kesadaran semacam ini justru menjajah diri sendiri, makin merawat ketidakpercayaan terhadap diri sendiri. Lalu, makin merosotkan mental dan semangat (belajar) menulis.

 

Kesadaran terhadap menulis di atas, membuat kita tidak pernah memikirkan tentang menulis itu sendiri. Apakah menulis itu penting bagi saya, bagi dunia saya, bagi kehidupan ini atau tidak. Semua itu tak pernah terlintas dalam pikiran. Sehingga sekolah atau dunia pendidikan bagi saya hanyalah wadah tempat orang-orang berproses mencari jabatan dan mengejar pangkat yang akhirnya berujung pada sebuh pekerjaan yang diupahkan atau mendapat gaji. Mengapa pikiran itu yang hidup dalam diri, karena ya, sekarang saya sadar betul, sistem pendidikan yang dibangun dengan citra pendidikan selama ini, hingga berpuluh tahun adalah ‘jalan tol’ mendapatkan peluang kerja kantoran dan perusahaan.

 

Terutama ketika saya berusia SD, jika seorang guru memberi kami tugas menulis, barangkali orang pertama yang paling susah hatinya, yang paling benci terhadap tugas demikian adalah saya. Ketika datang tugas menulis itu, saya seperti ingin berlari dari diri saya sendiri, saya seperti ditakut-takuti oleh sesuatu yang menyeramkan, seperti dipaksa, atau terasa seakan tugas yang paling berat. Mental saya benar-benar ambruk, kaku, mental terpenjara, dan itu membuat saya makin menjauh dari hal-hal yang mendidik saya dalam hal menulis. Saya tak mau menulis, saya tidak percaya dengan menulis, dengan diri sendiri. Begitulah kondisi mental saya dalam menghadapi dunia menulis. Karena itulah, dalam hal menulis, selama proses dalam jenjang pendidikan, SD, SMP, SMA, bahkan sampai di bangku universitas pun sama halnya, saya tak pernah mencobanya, tak pernah akrab dengan menulis. Karena, kesadaran menulis dalam diri saya masih tetap sama: tidak percaya pada kemampuan diri sendiri. Menulis tidak penting, menulis adalah tugas para profesor.

 

Tapi, perlahan mulai saya sadar bahwa, kesadaran saya terhadap menulis seperti terjelaskan di atas, bukanlah kesalahan saya, bukan kemauan saya sendiri, suatu kesadaran yang tidak hadir secara tiba-tiba, ia hadir melalui proses menyejarahnya sebuah dunia: sistem pendidikan, sosial, ekonomi, budaya dll. bahwa kesadaran itu adalah bentukan dari luar diri, campur tangan pihak lain terhadap kesadaran itu. Ada campur tangan sistem sosial di dalamnya.

***

Suatu pagi, saya membaca sebuah buku (Politik pendidikan Paulo Freire dan Dekolonisasi Metodologi Linda Tuhiwai Smith), terjelaskan di sana bahwa kesadaran pengetahuan dan cara pandang kita hari ini adalah hasil dari sebuah bentukan sistem di masa lalu, sistem bangsa penjajah,  terutama di masa-masa perang dunia, yakni sistem kolonialisme, hingga kapitalisme dan imperialisme yang diterapkan untuk menertibkan bangsa terjajah dalam wilayah-wilayah jajahan. Terutama yang diserang oleh bangsa penjajah terhadap bangsa terjajah adalah merombak sistem pengetahuan asli orang pribumi, merubah cara pandang, membolak-balikkan sejarah, mengubah dunia bangsa terjajah, menerjemahkan dan mengidentifikasi kembali semua subjek bangsa terjajah menurut mereka.  Smith, misalnya menulis bahwa pengetahuan bangsa terjajah adalah produk dari kaum bangsa penjajah.

 

Melalui cara-cara kolonial seperti itu, yang bahkan berlangsung hingga hari ini, terbukti dalam diri, saya benar-benar tak pernah memahami dunia saya, tak pernah benar-benar mengatahui sejarah saya dengan murni. Bahkan untuk mengindentifikasi dan mengetahui siapa saya, posisi saya di kampung ini untuk apa, untuk siapa, itu pun tak bisa, tak punya kemampuan samasekali.

 

Diri, kampung, dunia yang lebih luas, semuanya diterjemahkan menurut carapandang bangsa penjajah (asing). Cara pandang yang justru mengkotak-kotakkan sejarah kami, masyarakat, kampun, bahkan diri kami. Bukan cara pandang kampung sendiri.

 

Tidak hanya saya, beberapa teman, kerabat, bahkan hampir semua bangsa terjajah mengalami nasib serupa, yakni menerjemahkan dunianya menurut pengetahuan bangsa penjajah. Memahami siapa diri kita melalui penafsiran pengetahuan (tulisan) kaum kolonial. Model pengetahuan dan kesadaran semacam ini, hingga sekarang masih diteruskan kembali melalui berbagai istitusi sosial: pendidikan, agama, budaya, bahkan mirisnya, dikawal oleh negara.

 

Lihatlah, proses belajar-mengajar dalam dunia pendidikan kita misalnya, masih melanjutkan pendidikan kaum kolonial, cara belajar-mengajar bangsa penjajah. Mengutamakan cara-cara formal (formalitas) di atas segala-galanya, dan memberikan berbagai statmen atau penilaian, menganggap cara belajar-mengajar yang non formal bukanlah suatu bentuk belajar yang baik, tidak mendidik dll sebagainya. Kita semua pasti mengalaminya sendiri. Belajar yang kaku, yang tegang.

 

Proses pendidikan bangsa terjajah disebutkan Freire, cenderung menganggap guru sebagai subjek pendidikan dan siswa sebagi objek pendidikan. Guru sebagai yang mengetahui segalanya dan siswa seperti tong kosong yang harus diisi. Atau seperti istilah kurikulum kita sekarang, bahwa pengetahuan guru 80% dan murid 20%, sehingga murid harus lebih banyak diam (patuh), mendengar, lebih banyak menyerap pengetahuan guru, dan guru harus lebih banyak mengatur cara belajar, mesti mendominasi semuanya  dalam proses belajar. Model pendidikan semacam ini yang disebut Freire sebagai pendidikan gaya bank. Murid serba manut terhadap guru, terhadap apa yang guru sampaikan. Tak ada interaksi kritis antara guru dan siswa. Guru menyampaikan sesuai dengan apa yang dibaca dalam buku, dan siswa hanya bisa menerima apa yang disampaikan guru. Sama-sama hanya bisa mengkonsumsi pengetahuan, dan tak dapat memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru. Akibatnya, guru dan murid sama-sama tak dapat mengembangkan pengetahuannya. Tak dapat menemukan ide-ide baru. Padahal seharusnya dalam proses pendidikan, kualitas perilaku belajar tidak bisa diukur dengan jumlah halaman yang dibaca selama satu malam atau jumlah buku yang dibaca selama satu semester. Karena belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide. Begitu, tulis Freire.

 

Soal sejarah, kami hanya disuruh menghafal nama-nama para pahlawan bangsa (bukan mengenal pikiran dan semangat perjuangannya). Menghafal negara dan kota-kota besar yang dikatakan modern dan maju. Masih melekat kuat dalam ingatan saya, kala itu negara yang paling maju dan modern adalah Amerika Serikat dan Inggris. Kami disuruh pula menghafal nama-nama para ilmuan, penemu pulau (colombus) dan semua sejarah-sejarah besar lainnya. Kami tak pernah diajarkan bagaimana mengetahui sejarah kampung sendiri, sejarah para leluhur, bagaimana leluhur kita membangun kampung dan membesarkan kami. Semua sejarah di sekolah hampir semuanya bukanlah sejarah kritis, sejarah yang dapat memberi kami gambaran siapa kami, bagaimana dunia yang sekarang kita huni, dari manakah dunia kita dibangun. Sungguh, sebuah sejarah yang instan. Sebab sejarah kita ditulis bukan oleh kita sendiri, melainkan ditulis oleh bangsa dari luar, terutama bangsa penjajah.

 

Jikalau sejarah daerah-daerah kami diajarkan, paling jauh, adalah sejarah menurut versi pemerintah, yang itu adalah hasil jiplakan yang diambil dari dokumen-dokumen kolonial, yang jauh hari para antropolog barat telah menulis tentang kami, tentang sejarah dan etnis mayoritas kami menurut mereka. Lalu kemudian, dengan segera dunia pendidikan mengklaim bahwa kebenaran sebuah sejarah adalah yang ilmiah diajarkan itu, sedangkan sejarah kami yang dituturkan melalui sejarah lisan oleh para tetua kampung (orang-orang tua) kami bukanlah sejarah yang ilmiah, sehingga dinilai sebagai sejarah yang palsu, yang tak punya kenyataan kongkrit.

 

Sejarah kita yang dituliskan oleh para antropolog versi bangsa penjajah, terkandung di dalamnya kepetingan penjajah, sesuai dengan visi-misi mereka dalam mengeksploitasi pengetahuan, jati diri, bahkan mengeksploitasi sumber daya alam kita. Semua hasil penelitian bangsa penjajah tentang kami, kemudian dipublikasikan, disebarkan ke berbagai penjuru dunia, lalu diserahkan kepada kami, melalui berbagai cara, terutama dunia pendidikan formal. Selanjutnya, di dalam dunia pendidikan formal itulah kami dipaksa mendefenisikan diri kami, menerjemahkan dunia kami berdasarkan hasil penelitian (tulisan) bangsa penjajah (produk asing).

 

Karena itulah, hingga sekarang, kami tak pernah tahu bagaimana sejarah kampung kami, bagaimana sejarah sendiri. Sehingga kita bisa lihat kondisi kampung hari ini dengan mata telanjang, di mana-mana terjadi pengrusakan alam: penggusuran pulau, pencemaran air laut dan sungai oleh perusahan-perusahan raksasa, yang kesemuanya itu kita terima dengan lapang dada hati bahagia, tanpa sedikitpun merasa ditindas dan dijajah. Malah kita sendirilah yang justru meneruskan kerusakan kampung: mengkapling pulau dan gunung-gunung untuk pembebasan perusahan. Demi nilai rupiah yang tak bertahan lama. Padahal, semua pulau dan gunung di sana-sini menyimpan memori sejarah dan kenangan para leluhur. Menyimpan masadepan kehidupan kami hingga anak cucu. Semua dilupakan, semua dihancurkan. Dan Hampir semua bangsa terjajah, adalah yang selama ini benar-benar berdiri hidup diatas kepalsuan pengetahuan dan sejarah sendiri.

 

Saat ini, problem mendasar yang harus diperhatikan dan kemudian dibongkar, untuk dibenahi kembali adalah persoalan mentalitas (corak pengetahuan), yang itu adalah mentalitas penjajah (produk asing). Suatu mentalitas serba patuh, tak punya daya kritis dalam segala hal, terutama pengetahuan. Metal ikut-ikutan inilah yang di zaman modern kini kita kenal sebagai mental konsumtif. Segala yang disuguhkan diterima begitu saja, tak perduli berguna atau tidak bagi kami, bagi dunia kami, bagi kampung kami. Tak pernah memeriksa duduk perkaranya kembali.

 

Saya sendiri merasakan hal tersebut. Tapi, perlahan saya menyadari bahwa selama kita tidak pernah memulai untuk membongkarnya kembali, membenahinya kembali, maka selama itu pula kita tetaplah tertib dalam wilyah-wilayah jajahan, tetap tertib menjalankan kebodohan, meneruskan kerusakan, dan melanggengkan ketidakadilan.

 

Salah satu jalan pembongkaran itu ialah dengan cara MENULIS. Berani menulis kembali tentang diri kita, tentang dunia kita. seperti maksud Freire, menulis adalah proses healing (penyembuhan), suatu proses reflektif yang paling baik. Karena menulis berarti kita melibatkan diri, terlibat langsung dengan apa-apa yang kita alami, yang kita saksikan, dan dituangkan dalam teks, terlibat dengan diri sendiri, terlibat dengan kampung kami, dengan berbagai lapisan dunia. Kita terlibat dengan berbagai persoalan dan ragam dinamika yang terjadi dalam dunia kita (sosial, budaya, ekonomi dll).

 

Dengan menulis, kita berusaha mengenali dunia kita, kampung, bahkan untuk mengenali siapa saya. Kita mengenal semua itu bukan berlandaskan pada hasil pemahaman bangsa penjajah, atau hasil penelitian orang lain, tapi hasil dari pandangan dunia kita sendiri. Sehingga dengan menulis, kita dapat melawan semua ketidakadilan itu dengan cara kita sendiri. Menulis, selain menggerakkan emosi dan pikiran, bahkan hingga dapat menggerakkan fisik. Sehingga jangan heran, ketika berbagai demonstrasi dan bentuk perlawanan yang terbit di mana-mana, itu karena dari sebuah tulisan. Bahkan ketidakadilan yang kita rasakan itu sendiri adalah hasil dari sebuah tulisan. Maka, dengan menulis pula-lah ketidakadilan dapat kita lawan.

 

Saya membayangkan, ketika setiap orang (bangsa terjajah) dapat mengambil peran untuk menuliskan setiap dirinya, dunianya, setiap kampungnya, maka kita akan dapat menentukan ritme kita, irama kita yang bukan lagi ritem dan irama bangsa penjajah itu. Karena kita telah mengetahui siapakah kita. Tulisan dapat membuka mata, cara pandang, dan dapat menggerakkan kita.

 

Dengan menulis, kita tidak hanya berguna untuk hari ini, tapi kita telah menyumbangkan energi besar untuk generasi selanjutnya. Untuk kehidupan ini. Kita dapat berguna hingga selamanya. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian[1].

 

[1] Pramoedya Ananta Toer


Diberdayakan oleh Blogger.