Hidup Mati Tanah Air
Orang seperti tak percaya. Tadi malam Sativa masih memimpin musyawarah kampung. Pagi tadi Surdi masih mandi di sungai. Orang bertanya-tanya sebab kecelakaan maut itu. Tanda tanya memenuhi kepala setiap orang.
Kabar kematian Sativa sampai juga ke telinga Chagarange, pemuda kampung yang sehari-hari hanya bergumul dengan kebun. “Chagarange, di bawah, orang kampung gempar, Sativa dan tiga orang temannya kecelakaan. Mati di barangka.” kata Om Kilam datar. “Masa?” Chagarange seperti tak percaya.
“Aku baru dari bawah” Tukas Om Kilam. Chagarange terdiam.
“Tadi pagi jam sembilan Sativa ke sini lagi.” Suara Chagarange berat, parau.
“Dia bilang apa lagi, masih membujukmu lepas tanah?” Om Kilam penasaran. “Iya.” Jawab Chagarange pendek.
“Cha, kamu muram. Kenapa? Kan kamu sendiri yang tak suka dengan Sativa karena sering membujukmu lepas tanah?”
“Aku memang tak suka dibujuk untuk lepas tanah ini. Tapi, bukan itu yang buat aku sedih, Om.”Chagarange mulai menjelaskan.
“Lalu kenapa?” Om Kilam mengejar.
Tujuh tahun silam, Chagarange memutuskan untuk tidak melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Buatnya, mengenal aksara dan angka sudah cukup. Yang penting pembagian, perkalian, dan pengurangan sudah bisa dipraktekkan sendiri. Ditambah ibunya sudah meninggal dan ayahnya kawin lagi. Hingga kini, ia tak pernah tahu ayahnya entah di mana. Warisan tanah dari kakek dan nenek pun tak diurus siapa-siapa. Belum lagi jurame[2] delapan bal[3] yang ditinggal kakek dan neneknya itu. Ia merasa harus mengurus, mengolahnya.
Saban waktu, masih terngiang dalam ingatannya, petua kakeknya sebelum beliau mati: tanah dan air adalah hidup-mati orang Haleyora. Menjual tanah, itu sama saja dengan membunuh dirimu sendiri. Tak hanya itu, kamu akan dianggap durhaka oleh para leluhur negeri ini dan bisa dipastikan hidupmu akan sengsara.
Dalam hidupnya, Chagarange paling mengigat dua hal: pesan kakeknya dan Sativa. Sativa di mata Chagarange bak matahari. Tak bisa ia pandang dari dekat. Apalagi bercakap dengannya.
Itu amat susah dan mendekati mustahil. Waktu itu, hujan deras tak mau berhenti mengguyuri kampung Naluakep. Guntur dan kilat menyambar-nyambar. Angin kencang mematahkan dua pohon woka[4] di samping rumahnya. Chagarange menyeduh kopi. Tapi di kepalanya bertanya-tanya siapa saja tetangga kebun yang belum juga keluar dari hutan. Ia khawatir cuaca macam begini membahayakan petani di hutan. Beberapa petani keluar dari semak belukar memayungi kepala dengan daun woka, sebagian lagi dengan daun pisang. Beranda rumahnya yang berada tepat di mata jalan itu membuat Chagarange dapat melihat para petani dari kebun. Setiap sore dari beranda ia menyapa orang-orang yang lewat. “Om.., Bibi.., Singga dulu..” Mereka hanya melambaikan tangan dan melanjutkan perjalanan.
Hujan mulai redah. Angin tak bertiup lagi. Seorang perempuan melangkah agak lambat. Seperti yang lain, ia memayungi kepala dengan daun woka, menggendong saloi[5] di belakang tubuhnya. Chagarange tak menyapa. Dalam hatinya menebak-nebak siapa perempuan itu. Ia mendekat. Teranglah, perempuan yang kini berada di depan rumahnya adalah Sativa.
“Ooh.. ini rumahmu, Cha?” Chagarange masih terkesima. Dipandangnya titik air yang melewati rumbai daun woka dan membasahi tubuh perempuan itu.
“Iya, ini rumahku” jawab Chagarange. Ia masih bertanya-tanya kenapa perempuan secantik ini sendirian dari kebun. Sativa membetulkan daster yang sudah melekat dengan kulitnya karena kuyup.
“Kamu sendirian?” Tanya Chagarange.
“Tidak. Itu papa dan mamaku.” Jawab Sativa sambil menunjuk dua orang yang baru saja lewat di depan jalan. Awan hitam tebal mulai menyelimuti hidung gunung di seberang jalan. Angin mulai berhembus lagi.
“Sebentar akan turun hujan. Mungkin lebih besar.” Chagarange belum selesai bicara, gemuruh hujan datang dari belakang rumah. Sativa bergegas naik ke beranda. Baru kali ini Chagarange melihat Sativa dari dekat. Dia seakan tak percaya dara cantik ini mampir ke gubuknya.
“Kamu pasti kedinginan, aku buatkan kopi?” Pinta Chagarange.
“Aku tidak biasa kopi, Cha.” Sambil meletakkan daun woka di tangga beranda. Sativa bilang, “Teh panas saja.” Chagarange masih tetap di bangku dan tak berkata apa-apa. Sativa duduk empat jengkal di sampingnya. Dada Chagarange berdetak kencang. Ia masih tak habis pikir wanita yang begitu cantik dan dikaguminya sejak SMP kelas tiga itu kini duduk di sampingnya. Ia segera ke dapur dan satu cangkir teh panas disuguhkan ke hadapan Sativa.
“Kamu hebat Cha, sudah mampu buat rumah sendiri, meskipun sederhana. Teman-teman yang dahulu sekelas denganmu tak punya rencana begini. Sekarang, kita justru berancang-ancang melanjutkan kuliah. Teman-teman lain ke Jogja, yang lain ke Bandung, Bogor, Makassar dan Menado.” Chagarange hanya mendengar. “Terus Kamu?” Chagarange ingin tahu. “Aku rencana kuliah di Jakarta.” Sativa menjawab sambil meneguk teh. Chagarange hanya mengangguk.
Hujan masih semangat mengguyur deras. Di kejauhan, awan hitam berlahan mulai hilang, angin meniup dari Selatan. “Besok siang aku akan berangkat ke Jakarta. Cha, teman-teman yang sekolah punya tujuan sama. Menjaga dan memajukan kampung ini. Mungkin dengan sekolah, dengan mendapat pengalaman di luar sana, kita dapat berbuat lebih banyak di sini.” Sativa menutup obrolan sore itu dengan kata-kata, ”Cha, kamu harus jadi. Demikian juga aku dan teman-teman.” Chagarange hanya menjawab dengan gumam. Sativa segera beranjak dari tempat duduknya. Chagarange mengantarnya hingga pundaknya hilang di ujung jalan.
Sejak putus sekolah, Chagarange memang jarang bertemu teman-temannya. Hidupnya sepenuh-penuhnya dicurahkan untuk mengolah kebun. Ia hanya melewati kampung saat pulang memancing ikan dari laut. Sesekali teman-temannya berkelakar: Kamu mengolah kebun, kita bersekolah. Tapi, di mana-mana hanya orang sekolahan yang bisa sukses jalani hidup. Terkadang, Chagarange hanya menjawab canda itu dengan senyum. Tapi dalam dirinya membatin, kalian bersekolah untuk hidup dan masa depan. Saya juga berkebun untuk itu. Kita lihat saja siapa yang akan berhasil. Ia masih membatin, kalian tak tahu, sekarang cengkih dan pala buah tanganku di kebun sudah ratusan pohon. Kalian bisa lanjut sekolah hanya karena orang tua menjual tanah.
***
Empat setengah tahun, Sativa dan teman-temanya pulang dengan semangat memajukan dan membangun kampung. Di kepala mereka, kampung tempat mereka hidup itu tampak masih jauh dari kemajuan. Jalan belum diaspal, rumah-rumah masih tradisional dan warganya hanya berkebun dan mengail.
“Cha, sekarang sudah waktunya kampung kita ini, bentangan hutan di belakang ini juga gunung-gunung akan dikelolah oleh Negara. Kita akan sejahtera, kamu tak perlu lagi repot mengurus kebun atau mengail di lautan. Setiap bulan kita akan terima duit. Pendapatan perkapita warga di sini akan naik, naik terus. Semua itu adalah kehendak Negara. Negara bikin begitu untuk kita, untuk kesejahteraan warganya. Dan kamu tahu kan, Cha? kita ini warga negera yang berhak sejahtera. Berhak mendapatkan pendapatan perkapita yang layak.” Sativa semangat menjelaskan. Diulang-ulangnya “sejahtera.” ”Pendapatan perkapita.” “Di kelolah oleh Negara.”
Chagarange seolah tak berkesempatan untuk memotong pembicaraannya atau bertanya lebih. Pemuda yang tak tamat SMP ini hanya termangu. Ia merasa asing dengan kata-kata itu. “Besok-lusa, dua hari lagi akan ada sosialisasi di kantor desa. Kita harap Anda bisa hadir dalam pertemuan itu.” Sativa kemudian bergegas menuruni tangga beranda rumah Chagarange.
Sore yang lembab, silir. Awan kuning menyelimuti perbukitan. Chagarange tak menuntaskan kopi dalam cangkir liatnya. Satu lintingan tembakau ia bakar. Letup dan gumpalan asap membawa pikirannya melayang jauh, jauh ke dalam pala, cengkeh, kelapa dan pingingis[6] yang selama ini telah menghidupinya. Dalam batinnya berkecamuk, penuh tanya. “Sudah waktunya dikelolah Negara” kalimat itu menjadi lumut dalam kepalanya.
***
Hadir dalam pertemuan malam itu, Kepala Dinas Pertambangan, Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kepala Desa, Sativa dan tiga laki-laki lain. Satu berperut buncit, lainnya sebaya dengan Sativa. Kantor desa dipenuhi warga Naluakep.
“Malam ini sosialisasi pertambangan. Yang hadir di depan Om-om dan Bibi-bibi ini adalah pemerintah Daerah Kabupaten Haleyora Timur, Konsultan lingkungan dan Bapak Investor. Lebih jelas, nanti masing-masing akan mengenalkan diri.” Sativa menyilahkan Kepala Desa Naluakep untuk membuka pertemuan.
“Jadi.. begini, Om-om dan Bibi-bibi. Desa Naluakep ini ada hasil. Kita tidak hanya punya tanah yang menumbuhkan pala dan cengkeh. Tetapi di dalamnya ada hasil. Nah, hasil ini yang akan dikelolah oleh Negara untuk kesejahteraan kita semua. Bapak-bapak dari Pemerintah Daerah dan Investor ini datang, turun ke sini untuk menyampaikan rencana penambangaan nikel?”
Kepala desa menutup pembicaraannya. “Jadi, saya berharap semua warga Naluakep bisa mengikuti sosialisasi ini sampai selesai. Biar kita semua faham.”
Giliran Kepala Dinas Pertambangan. “Dengan adanya pertambangan ini, Naluakep tidak akan sepih seperti ini. Kampung ini akan jadi ramai. Didatangi orang dari luar. Jalan raya akan kita aspal, aspal butas. Desa ini, akan juga masuk listrik. Naluakep akan menyala, terang setiap malam. Ibu-ibu bisa jualan sayur dan telur juga hasil kebun lain di pasar, pemuda-pemuda akan kerja di sini. Yang lain bisa bikin usaha koskosan. Bagimana, baguskan? Tapi semua terserah Om-om dan Bibi-bibi. Mau atau tidak. Semua yang saya bilang tadi adalah tugas pemerintah jika masuk perusahaan tambang ini.”
Tiba giliran Investor. Seorang warga menukas. “Bapak vestor, (maksdunya investor) tidak usah bicara panjang lebar lagi, sudah jelas. Intinya kita sudah setuju. Jadi, kapan mulai. Itu saja!”. Sang Investor hanya tersenyum. Ia mengajukan jempol. Warga serentak aplaus, gemanya memenuhi ruang rapat.
Chagarange seolah baru mengerti, orang-orang yang duduk di depan itu adalah Negara—mereka yang disebut-sebut Sativa dua hari lalu—yang akan memberikan kesejahteraan Naluakep. Tetapi, lumut “dikelolah Negara” dalam kepalanya masih belum terjawab. Rapat disudahi dengan bagi-bagi amplop coklat dari investor. Kata orang, itu uang-duduk.
Tatap muka Investor dan warga Naluakep berlangsung hingga beberapa kali. Warga makin bersemangat. Cerita ganti rugi lahan menggiurkan hampir seluruh warga. Daftar harga luasan lahan, isi lahan dan pemilik-pemiliknya sudah dirampungkan pemerintah desa dibantu Sativa dan teman-temannya. Seluruh warga sudah bulat, setuju. Tibalah waktu yang tunggu-tunggu. Sebagaimana, kesepekatan rapat tempo hari, bagi pemilik lahan pihak investor akan membayarnya langsung di lapangan. Langsung ke pemilik kebun.
Chagarange sejak itu tak lagi turun ke kampung. Pikirannya kalut, balau. Dua hari berlalu ia tak mengerjakan apa-apa di kebun. Di suatu pagi, Chagarange bertandang ke Om Kilam tetangga kebunnya, menanyakan apa sebetulnya maksud para investor mengelola hasil itu. Bagaimana caranya. Seperti pula Chagarange, Om Kilam juga tak tahu apa-apa. Dia hanya dengar, di Haleyora Tengah juga sedang berlangsung penambangan. Obrolan tak berlangsung panjang, Chagarange mengajak Om Kilam ke Haleyora Tengah. Sembilan belas jam berjalan kaki. Memotong gunug, membelah sungai. Sampailah keduanya tepat di area penambangan nikel itu. Dan mereka menyaksikan apa yang disaksikan.
***
Jumat, tengah hari tua yang panas itu, di bawah rimbun pala dan cengkeh itu, di hadapan Om Kilam Chagarange gemetar, tubuhnya berkeringat. Di tangan kanannya tergenggam sebuah parang khas Haleyora. “Om, saya sedih karena Sativa dan teman-temannya sekolah tinggi-tinggi bukan untuk melesatarikan tanah dan air di kampung ini. Saya tak tau petani yang lain. Tapi untuk saya, tanah ini adalah hidup-matiku. Jika mereka bersikeras, saya mati atau mereka yang mati, itu saja!”
Tersebar kabar, Surdi, sopir investor itu mabuk saat menyopir. Uang pembebasan lahan yang baru diterimanya digunakan mabuk-mabukan.
Catatan:
*Penulis adalah pegiat di Salawaku Institute. Sekarang bermukim di Teluk Buli, Kab.Halmahera Timur.
Cerpen ini juga telah dimuat di Wordpress penulis. Kawan-kawan bisa berkunjung ke https://saidmarsaoly.wordpress.com/2016/12/04/hidup-mati-tanah-air/
[1] Barangka terbetuk karena bekas jalur sungai besar. Biasanya dijadikan pembuangan sampah.
[2] Hutan yang pernah dibongkar untuk dijadikan kebun.
[3] Orang Haleyera menggunakan satuan ukuran bal juga pada kebun. Satu bal sama dengan seratus meter persegi.
[4] Pohon lontar.
[5] Sejenis keranjang dari rotan.
[6] Sorgum.
Post a Comment