Azam dan Karang Harapan
Penulis: Iswandi Siawa
![]() |
Ilustrasi Azam dan Karang Harapan |
Mabapura, seorang lelaki yang berusia anak padi, tumbuh di tengah kehidupan yang mencekam. Setelah berpindah dari negeri seberang[1] ke Mabapura, Azam hidup bersama dua pasangan suami istri[2] yang menjadikan Azam kokoh dan kuat menjalani hidup setiap harinya.
Saat teman-temannya menyiapkan buku dan pena untuk meraih mimpi di bangku sekolah, lain hal dengan Azam yang harus menyiapkan mata kail serta alat mancing lainnya. Kehidupan Azam begitu kompleks dengan lautan. Tempat ikan seputaran laut Mabapura hampir dikuasainya, bahkan waktu ikan datang dan pergi.
Pagi, Azam telah bergegas ke ujung pelabuhan. Ia gantungkan harapan seorang diri di ujung mata kail setiap kali lemparan ke laut. Ia seorang diri menyambut fajar dengan semangat keemasan yang menyelimuti pagi . Kesejukan laut Mabapura di pagi hari adalah ketenangan yang tiada tanding. Dengan sepoi angin yang mengantarkan Azam betah dan sabar menunggu ikan.
Ketika matahari hampir sejajar kepala, Azam bergegas pulang dengan
tiga hingga lima ekor ikan yang di bawanya. Bagi Azam, membawa hasil keringat adalah
sebuah kebahagian yang akan selalu diapresiasi kedua orang tua di rumah. Namun,
harapan itu seakan angin lalu.
Setibanya di rumah, Ia ditanya, sesekali dimarahi.
"Bikapa
tara pigi skolah Azam?”
“Ngana tiap hari cuman mo pigi mangael, mo kase makan sapa?”
“Ana-ana lain pigi skolah kong ngana tara pigi skolah?”
Berbagai pertanyaan hampir mematahkan semangat Azam untuk memancing. Hingga membludak di kepalanya.
"Skolah deng tara skolah sama saja
cari makan" kata Azam sambil membersihkan ikan untuk dimasak.
Orang tua mana relakan anaknya dengan aktivitas pagi berbeda dengan
anak-anak yang lain. Di zaman yang semakin canggih, tidak menyekolahkan anak
adalah suatu kegelisahan orang tua untuk bekal hidup anak akan datang. Azam
memang anak yang sedikit keras kepala.
Azam bergegas kembali ke tepi pantai, dengan pikiran kosong serta
bayangan pertanyaan “tidak sekolah” membuat langkah kaki semakin berat, dengan
kepala tertunduk sedih serta kedua tangan di taruh di belakang. Menetes air
mata hampir tak berdaya.
Ia tidak ingin bercerita, atau curahkan rasa gundahnya kepada siapapun.
Hanya jalan yang menjadi arah dan alat macing yang jadi temannya. Sampai ia
kaget ketika kepala diangkat, Azam sampai pada sekumpulan orang yang menjual
ikan. Tanpa aba-aba Azam menaiki perahu yang berisi ikan hendak membantu
menurukan ikan yang akan dijual.
Azam diberi upah sekian rupiah. Semangatnya kembali teramu.
Pertanyaan "tidak sekolah" terjawab sudah. Azam kembali pulang ke
rumah membawa hasil. Kali ini bukan ikan, melainkan uang.
Uang itu ia coba berikan kepada ibunya. Dengan cepat azam memberi
penjelasan kepada ibunya, bahwa uang yang ia dapat adalah hasil dari membatu
orang menjual ikan.
"Simpan saja doi tu Azam, ngana so tara skolah kong iko bagam
deng apa sudah", kata ibunya, dengan nada pelan.
Azam masuk kamar hendak beristirahat. Hari telah sore, ia
terbangun dengan semangat menuju laut. Sebuah perahu tua ia dayung hingga
sejajar dengan jembatan. Lemparan pertama, Azam dapat ikan besar. Bahagia
dan haru sore itu. Hingga petang menyingsing, satu keranjang ia dapat. Azam kembali
pulang.
Seiring waktu berjalan Setiap hari Aktivitas Azam hanya di laut.
Ia rasakan hidup merdeka bermain riang dengan alam. Hingga suatu hari ia pergi
ke tempat biasa mancing. Namun sayang, setelah tiga hari berturut-turut tidak
ada hasil yang dibawa pulang. Katanya, karang tempat ikan bermain telah rusak.
Ikan-ikan sudah berlari entah kemana.
Harapan Azam untuk mancing hampir redup, di usia beranjak remaja, ia harus pasrah dan kecewa dengan situasi laut yang tidak lagi bersahabat: karang telah rusak. Suatu hari Azam diajak ibunya ke kebun. Azam yang setiap hari tanpa alas kaki bersentuhan dengan air masing (air laut), harus menyesuiakan diri dengan alam baru.
Dunia kebun asing baginya. Sedari
awal Azam tidak bersepakat untuk berkebun. Menurutnya, lama untuk memetik hasil
yang ditanam. Begitulah azam. Beginilah hidup Azam, kadang di laut, kadang di
darat.
"Azam, untuk capai sesuatu yang baik, kitorang harus
sabar." Ibunya menasehati.
"Sambil rawat tanaman yang telah kita tanam dan menunggu
ikan". Lanjut ibunya
Azam merunduk mendengar nasehat ibunya. Azam
membatin, memancing adalah pilihan yang tepat baginya. Namun lagi-lagi
kekecewaan Azam terhadap karang harapannya membuat ia harus berhenti ke laut.
Kini Azam tidak lagi memancing dengan nilon dan kail, melainkan
mengikuti perahu bagam untuk menangkap ikan di lautan bebas.
Angin malam dan gelombang yang begitu kejam harus ditempuh olehnya saat
teman-teman yang lain bermain. Sungguh malang nasib Azam. Namun inilah Azam
yang sedari kecil menanam komitmen menjadi seorang nelayan. Esok lusa akan
menjadi apa dan bagaimana, hanya Azam yang mengetahui.
Bagi Azam, lautan telah menjadi rumah, alam raya adalah sekolah
yang paling nyata.
Post a Comment