PERJALANAN MENUJU KOTA

Penulis: Julhidayat Latawan

Ilustrasi

"Mereka yang berada di dalam mobil berpelat merah tidak akan merasakan apa yang dirasakan oleh pengendara roda dua saat berkendara menuju kota."

Jalan berdebu dan licin, di mana ketika hujan, debu berubah menjadi becek, dan saat panas, becek kembali menjadi debu. Pemandangan seperti ini sudah biasa saya saksikan. Hampir setiap hari berkendara menuju kota membuat saya merasa cemas, bukan karena lelah atau bosan, tetapi karena pemandangan yang kotor dan tidak beraturan. Jalan rusak yang diperbaiki oleh para pekerja pengaspal terlihat hanya mementingkan keuntungan besar tanpa memikirkan kenyamanan pengendara. 


Misalnya, batas antara aspal lama dan yang baru terasa seperti menaiki polisi tidur. Setelah melewati batas aspal baru, terdapat lubang besar pada aspal lama dengan jarak sekitar dua meter. Dalam hati saya bertanya, mengapa ini tidak sekalian diperbaiki? Padahal jaraknya begitu dekat. Saya bergumam, "Oh, mungkin anggarannya hanya cukup sampai di situ."


Dalam perjalanan, saya berusaha untuk menikmati pemandangan, tetapi lautan yang merah, jalanan yang berwarna serupa akibat aktivitas pertambangan, serta sungai yang keruh dan jauh dari standar baku mutu membuat saya sulit menikmatinya. Alat berat ADT pengangkut ore yang lalu-lalang semakin mengacaukan fokus saya. Jalanan merah itu hampir sepanjang perjalanan menuju kota. Di ujung kampung, dekat Kali Nof, terdapat lokasi PT. Sinar Terang Mandiri yang dibeli dari masyarakat setempat untuk dijadikan kantor dan tempat parkir alat-alat berat.


Sepanjang jalan dari Mabapura ke Maba, terdapat beberapa perusahaan dengan jeti yang membelah jalan. Ada Antam Grup di Teluk Moronopo, Position di belakang Desa Wailukum, serta PT. Haltim Mining yang juga berada di belakang desa tersebut. Setelah memasuki pusat kota, terdapat PT. Adita Nikel Indonesia. Karena istri saya berasal dari Bicoli Selatan Maba, saya sering melihat dampak aktivitas pertambangan PT. Adita Nikel Indonesia.


Senin pagi pukul 07.00, para pegawai sipil bersiap berangkat menuju kantor dari Mabapura ke Maba untuk mengikuti upacara. Jalan mulai ramai sejak pukul 06.00, dengan bus-bus perusahaan yang mengantar jemput karyawan berlalu-lalang di jalan raya. Memang cukup sulit menemukan udara segar di jalan menuju kota.


Setelah pulang kantor di Maba, sebagian pegawai negeri sipil langsung kembali ke Mabapura, sementara yang lain memilih menetap. Saya dan istri saya paling sering menetap di Maba Sangaji hingga Jumat sore, baru kemudian kembali ke Mabapura atau Bicoli. Senin depan, kami kembali ke kantor, meskipun terkadang kami pulang pergi setiap hari.


Aktivitas ini membuat saya hafal betul kondisi jalan yang berlubang dan aspal yang bergelombang. Apalagi truk-truk bermuatan granit ketika perjalanan dari Mabapura ke Maba (atau sebaliknya) yang biasa ditempuh dalam waktu 30 menit, kini harus menghabiskan waktu hingga satu jam. Mungkin para pengendara yang sering menuju pusat kota juga merasakan hal yang sama. Sering kali, saat duduk bersama, kami bercerita tentang jalanan yang semakin memburuk.


Suatu hari, pada acara tahlilan hari ketujuh almarhum keluarga bapak di Desa Maba Sangaji, saya pergi bersama bapak untuk menghadirinya. Waktu itu saya masih bekerja di PT. Sumber Daya Arindo (SDA) dan sedang dalam shift malam. Saat pulang kerja, Bapak meminta saya mengantarnya ke Maba. Karena masih lelah, saya menyarankan menggunakan mobil daripada motor. Bapak kemudian menelepon Kak Ima untuk meminjam mobil. Setelah mendapatkan mobil, saya berangkat dan mengantar Bapak ke rumah duka.


Sambil menunggu, saya singgah ke rumah teman dan saudara saya, Mita dan Risaldi. Kami berbincang sambil bermain ponsel. Tiba-tiba, Bapak menelepon, memberi tahu bahwa acara tahlilan telah selesai. Saya segera berpamitan dan bergegas kembali ke rumah duka untuk menjemputnya. Dalam perjalanan, rasa kantuk mulai menyerang, mungkin karena saya kurang tidur sejak malam sebelumnya. Sesampainya di rumah duka, beberapa ibu-ibu ingin ikut kembali ke Mabapura, tetapi akhirnya mereka memilih mobil lain.


Ketika memasuki Jalan 40 di belakang Wailukum, kantuk semakin menjadi. Saya terus memaksakan diri untuk mengemudi. Sampai di Moronopo, saya berhenti sejenak, menutup mata selama dua menit sambil menyandarkan kepala di kursi. Saya melanjutkan perjalanan, tetapi kantuk tetap tidak hilang. Rokok pun tidak bisa membantu karena saya bersama Bapak yang barangkali kurang nyaman dengan asap rokok, apalagi di dalam mobil.

Dokumentasi asli saat terjadi kecelakaan

Saat melewati turunan menuju Jalan Tani, mata saya mulai terpejam tanpa sadar. Tiba-tiba, mobil keluar jalur dan masuk ke dalam jurang. Saya kaget, tetapi semuanya sudah terlambat.


Diberdayakan oleh Blogger.